Mahasiswa kedokteran pasti memiliki planning ke depan akan lanjut ke mana dan sebagai apa. Kenyataannya, apabila kita bertanya ke mereka "mau lanjut spesialis apa, niih ?" Pasti kebanyakan akan menjawab obsgyn ( obstetry dan gynecology a.k.a kebidanan dan kandungan) atau bedah atau penyakit dalam, dengan dalih uangnya paling banyak #ppfftt. Dan itu memang realita yang ada di mahasiswa kedokteran #curcol. Padahal ada satu ilmu kedokteran spesialistik yang menentukan masa depan manusia, yaitu ilmu kedokteran spesialis anak. Anak adalah suatu masa yang perlu kita jaga dengan sebaik mungkin. Apabila anak kita telantarkan, maka akan berdampak buruk untuk ke depannya. Masa anak-anak yang dimaksud di sini adalah mulai dari masa fertilisasi (pembuahan) antara sel spermatozoa (sel jantan) dan sel ovum (sel betina), lalu lahirlah neonatus (bayi baru lahir), dan tumbuh berkembanglah menjadi anak-anak. Anak-anak adalah generasi emas, generasi yang akan menentu...
Malam itu memang sudah memasuki malam pertama bulan Ramadhan. Malam itu anak-anak asyik bermain di depan musholla. Malam itu para orang tua bahagia berjalan pulang ke rumah setelah menunaikan sholat qiyamul lail di musholla. Malam itu semua umat Islam bersukacita dengan datangnya bulan Ramadhan.
Terdengar keramaian anak-anak yang sedang bermain di depan musholla.
“Hei, kowe sing dadi, cah! (Hei, kamu yang jadi, bocah!)”, teriak Riski.
“Yaaah.. aku kena maneh iki! (Yaaah.. aku kena lagi ini!)”, sahut Feri.
“Maaf ya, Anda belum beruntung! Silahkan coba lagi!”, ujar Zidan sambil nyengir kuda menggoda Feri.
“Hahahahahahahahaaa.. Kasihan deh lo!”, timpal anak-anak yang lain sambil tertawa terbahak-bahak.
Malam itu terlihat sosok manusia dengan raut wajah cemberut di depan pintu musholla. Sosok manusia yang dikenal jamaah musholla dengan nama Wildan itu, masih saja berwajah cemberut ketika membersihkan lantai musholla.
“Kenapa kudu ngene jal? Coba nek aku ora kuliah neng kene, mesti pasaku bisa bareng Bapak lan Ibu neng omah” (Mengapa harus seperti ini? Andaikan aku tidak kuliah di sini, pasti puasaku bisa bareng Bapak dan Ibu di rumah), keluh Wildan.
Sembari membersihkan lantai musholla yang penuh dengan sampah-sampah makanan, Wildan masih saja mengeluh sambil mengingat bulan Ramadhan tahun kemarin, ketika Wildan belum di tanah perantauannya.
Wildan asyik bersenda gurau dengan Bapak dan Ibu. Sahur bersama, buka puasa bersama, masak bersama, tadarus bersama, banyak hal yang dilakukan Wildan bersama keluarganya yang ada di kampung halaman.
Tiba-tiba datanglah seorang pemuda membangunkan Wildan dari lamunannya.
“Oy!”, ucap si pemuda.
“Hoi!!!”, ucap Wildan dengan kagetnya sambil mengambil sikap kuda-kuda.
“Weeeh! Sante wae napa! Gak usah nganggo kuda-kuda! Dikira ngajak gelut apa? (Weeeh! Santai saja bisa gak! Gak perlu pakai kuda-kuda! Dikira ngajak bertengkar apa?)”, ucap si pemuda.
“Duuh, ngapurane, Mas Rijal! Salahe, Mas Rijal ngaget-ngageti aku. Ngapurane, ya, Mas! (Duuh, maaf, Mas Rijal! Salahnya Mas Rijal yang mengagetkan aku. Maaf, ya, Mas!)”, ujar Wildan sambil menjabat dan mencium kedua tangan pemuda tersebut.
“Ya, Wildan!”, jawab si pemuda sambil melepas jabatan tangan Wildan.
“Pripun, Mas Rijal? Kadingaren, wayah ngene durung bali omah (Bagaimana, Mas Rijal? Gak seperti biasanya, jam sekarang belum pulang ke rumah)”, tanya Wildan ke pemuda tersebut yang bernama Rijal.
“Aku mesakke awakmu, sebenere. Nek disawang-sawang, kawit wingi kowe ora ana sumringahe babar blas. Kowe kenapa? Bar dipegat pacarmu? Biji ulanganmu anjlok? Apa kentekan dhuwit? (Aku kasihan denganmu, sebenarnya. Jika dilihat-lihat, dari kemarin kamu gak ada bahagianya sama sekali. Kamu kenapa? Diputus pacarmu? Nilai ulanganmu jelek?)”, ujar Mas Rijal.
“Hush! Apa sih, Mas Rijal iki! Aku gak duwe pacar, Mas! Aja ngawur, Mas! Aku iki njaga tenanan, supaya ora pacaran, amarga kaya ngana kuwi ora ana anjurane, Mas! (Hush! Apa sih, Mas Rijal ini! Aku gak punya pacar, Mas! Jangan asal bicara, Mas! Aku ini menjaga benar-benar, supaya tidak pacaran, karena hal seperti itu gak ada anjurannya, Mas!)”, jawab Wildan dengan nada agak tinggi.
“Ya, Mas percaya. Lha, ngapa isih ora sumringah? (Iya, Mas percaya. Lalu, kenapa masih gak bahagia?”, tanya Mas Rijal.
“Aku suwung, Mas! Mung wayah iki aku ngrasa suwunge puol! (Aku merasa kesepian, Mas! Hanya saat ini aku merasa kesepian sekali!)”, jawab Wildan.
Terdengar dering ponsel milik Mas Rijal. Sontak saja, Mas Rijal mengambil ponselnya dan mengangkat telepon dari ponselnya. Sedangkan Wildan kembali bermuram durja, sembari menunggu Mas Rijal yang masih bercakap-cakap di telepon.
“Aku tinggal ya, Wildan. Iki ana urusan maneh. (Aku tinggal, ya Wildan. Ini ada urusan lagi.)”, ujar Mas Rijal sambil mendengarkan suara dari seseorang dalam telepon.
Wildan pun mengangguk tanda setuju.
“Ngapurane ya, assalamu’alaikum (Maaf ya, assalamu’alaikum)”, ucap Mas Rijal yang masih mendengarkan suara dalam telepon sambil berjalan meninggalkan Wildan sambil tergesa-gesa.
“Wa’alaikumussalam, Mas”, jawab Wildan yang masih dengan muka muram durjanya.
***
Bagaikan angin yang berhembus kemudian pergi begitu saja, hari demi hari di bulan Ramadhan dilalui Wildan begitu saja. Setiap hari Wildan masih saja bermuram durja dan merasa kesepian. Dia tetap melaksanakan ibadah-ibadah di bulan puasa yang sifatnya wajib maupun sunnah, tapi dalam hatinya dia tetap merasa kesepian.
Saat masuk waktu ashar terdengar suara adzan dari musholla.
“Allahuakbar allahuakbar..”, ucap Wildan saat mengumandangkan adzan di musholla.
Terlihat beberapa jamaah yang masih berdoa di musholla seusai sholat ashar berjamaah. Terlihat pula sosok Wildan yang masih berdoa dengan wajah penuh harapnya kepada Sang Pencipta.
“Ya Allah, tulung, kula ampun dados manungsa sing suwungan saben dinten.. (Ya Allah, tolong, jangan jadikan saya menjadi manusia yang setiap harinya merasa kesepian)”, lirih Wildan di tengah-tengah do’anya.
Tak ada hujan dan tak ada badai, pencerahan hadir dalam diri Wildan selepas Wildan memanjatkan pintanya kepada Sang Pencipta. Saat itu jam dinding musholla menunjukkan jarum pendeknya di angka empat. Wildan pun beranjak dari duduknya dan berlari kecil keluar daun pintu musholla.
Terlihat anak-anak sedang bermain di halaman musholla. Anak-anak itu memang setiap sore bermain di situ, apalagi saat bulan Ramadhan semakin banyak anak yang bermain untuk menunggu waktu buka puasa. Terdengar pula teriakan anak-anak yang bermain
“Zidan! Ayo mlayu! (Zidan! Ayo lari!)”, teriak Riski dengan suara lantangnya.
Terlihat sosok Zidan yang bertubuh gempal sempoyongan berlari untuk merebut bola. Teman-temannya yang lain menertawakan gaya larinya Zidan yang menurut mereka sangatlah kocak.
“Cah..! Cah..! (Bocah..! Bocah..!)”, ujar Wildan sambil menghampiri kerumunan anak-anak di halaman musholla.
“Piye, Mas? (Gimana, Mas?)”, jawab Feri sambil berjalan menuju Wildan.
“Sesuk isih pada dolanan neng kene ora? (Besok masih bermain di sini gak?)”, tanya Wildan ke anak-anak yang menghentikan permainannya sejenak untuk menghampiri Wildan.
“Isih, Mas! Piye? Njenengan gelem melu, Mas? (Masih, Mas! Gimana? Kamu mau ikut, Mas?)”, tanya Feri sambil menggoda Wildan.
“Hahahahahahahahahaaa..”, anak-anak tertawa terbahak-bahak karena Wildan digoda oleh Feri.
“Wis tua ngene, cah! Ora mungkin melu kowe-kowe dolanan kaya ngene! Hahahaha.. (Sudah tua ini, bocah! Gak mungkin ikut kalian bermain seperti ini! Hahahaha..)”, jawab Wildan sambil tertawa juga.
Semuanya pun ikut tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan Zidan sampai bergulung-gulung di atas tanah, karena tidak bisa menahan gelak tawanya.
“Sesuk sore nek saben mrene, aja lali gawa buku tulis lan pulpen ya! Gawa sarung sekalian! (Besok sore tiap ke sini, jangan lupa bawa buku tulis dan bolpoin ya! Bawa sarung sekalian!)”, ujar Wildan dengan semangatnya kepada anak-anak.
“Nggo apa, Mas? (Untuk apa, Mas?)”, tanya Zidan penasaran.
“Insya Allah kawit sesuk sore nganti dina terakhir pasa, Mas Wildan bakalan ngajak sinau kowe-kowe iki (Insya Allah mulai besok sore sampai hari terakhir puasa, Mas Wildan akan mengajak belajar kalian)”, ungkap Wildan dengan mantab.
“Lhah, sinau kok saben wektu, Mas? Neng sekolahan wis sinau. Neng kene apa ya sinau maneh? Kesel Mas! (Lhah, belajar kok tiap waktu, Mas? Di sekolah sudah belajar. Di sini apa ya belajar lagi? Capek Mas!)”, keluh Riski sambil memegang dahinya.
“Hush! Piye sih kowe! Lumayan kuwi! Kene bisa njaluk tulung Mas Wildan nggarap PR, Ris! (Hush! Gimana sih kamu! Lumayan itu! Kita bisa minta tolong Mas Wildan mengerjakan PR, Ris!)”, sela Zidan sambil menyenggol badan kurus Riski dengan sikutnya.
Wildan pun hanya tersenyum di hadapan anak-anak.
“Sinaune kuwi ora mung sinau biasa, cah! Sinaune bisa disambi dolanan. Piye? Gelem ora? Lumayan loh, mengko ana buka pasa bareng, gratis maneh! (Belajarnya itu gak hanya belajar biasa, bocah! Belajarnya bisa sambil bermain. Gimana? Mau gak? Lumayan loh, nanti ada buka puasa bareng, gratis lagi!)”, goda Wildan kepada anak-anak.
Anak-anak pun membentuk kerumunan sendiri, memisahkan diri dari Wildan. Mereka saling berbisik satu sama lain. Tiba-tiba terdengar sahutan Feri yang sangat keras.
“Ya! Ora popo! (Ya! Gak apa-apa)”, sahut Feri dengan lantang.
Anak-anak pun menghampiri Wildan lagi. Mereka bahkan hampir memposisikan diri Wildan di tengah-tengah lingkaran mereka.
“Ya, Mas, kene gelem! (Ya, Mas, kami mau!)”, ucap Zidan yang seakan-akan dia adalah ketua dari komplotan anak-anak tersebut kepada Wildan.
“Apik! Ngana lho! Sesuk ya, aja lali teka mrene! (Bagus! Gitu lho! Besok ya, jangan lupa datang ke sini!)”, ucap Wildan kepada anak-anak.
Setelah itu Wildan pun beranjak pergi dari kerumunan anak-anak tersebut.
***
Terlihat anak-anak antusias mendengarkan penjelasan Wildan. Sore itu Wildan sedang mengajari anak-anak adab makan. Anak-anak sangatlah senang memperhatikan penjelasan Wildan yang sangatlah mengasyikkan.
Wildan yang awalnya merasa kesepian, Wildan yang awalnya sering bermuram durja, Wildan yang awalnya selalu terbayang kebersamaannya dengan keluarga di rumah saat ramadhan tahun kemarin, bukanlah Wildan yang sekarang. Kini Wildan sudah terlepas dari rasa kesepiannya. Hal ini dibuktikan dengan raut wajah bahagia Wildan setelah hari pertama mengajak anak-anak belajar sambil bermain bersama.
Walaupun ramadhan ini dilalui Wildan di tanah perantauan dan menjadikan Wildan jauh dengan keluarganya, walaupun ramadhan ini dilalui Wildan sembari mengenyam pendidikan dan mengabdi di musholla, tapi ramadahan ini tetap memberi arti tersendiri untuk Wildan, yaitu betapa bahagianya dan bersyukurnya Wildan ketika bisa menghempaskan rasa kesepiannya.
***
~Cerita pendek ini ditulis dalam rangka mengikuti Lomba Ramadhan 1438 H yang diadakan oleh Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran Indonesia (FULDFK)
Comments
Post a Comment